1.34 AM
Aku seperti seorang yang larut dalam muram durja ketika mendung memberi harap untuk segera menurunkan hujan. Yaa aku menunggunya hingga setiap detak jantung setiap detak jam pun ikut berotasi secepat mungkin (rasanya). Bahagia ??? iyaa,, itu yang aku rasakan saat perlahan aku yang merindukan hujan menatap mendung di langit yang perlahan hitam membawa awan berarak. Terus berdo'a pada tuhan agar kali ini mendung itu benar-benar memecah kawanan itu menjadi rintik-rintik air hujan. Dengan secara tak sadar aku adalah wanita yang sangat mencintai gerimis hujan. Tak pernah terbersit sebuah kebodohan bahwa setiap mendung bukanlah pertanda pasti hujan selebat mungkin akan segera turun. Bodohnya aku kala itu.
Terdiam, lama aku menunggui mendung dalam diamku. Analogi yang setengah mati aku pikirkan agar kelak setiap kata memiliki makna tersirat. Tuhan berkehendak lain. Seketika senyumku berubah menjadi guratan kesedihan, menjadi sebuah kekecewaan yang tak bisa aku lukiskan. Aku memang terlalu sering menunggui mendung yang tak kunjung menjadi gerimis airhujan namun fase klimaks itu aku miliki. Entahlah, perlahan butiran bening itu mengalir di pipiku membasahi setiap sudut ruang mataku. Aku tak menyadarinya tuhan, betapa sedihnya betapa sakitnya menunggu mendung yang tak mendapat restu mentari untuk memecah hujan. Aku tak tahu tentang apa itu sabar sementara ini tuhan, sungguh. Yang aku tahu adalah saat ini aku hanya ingin menangis saat ini aku hanya ingin ada dipelukMu dan aku hanya ingin Engkau mengubah mendungMu menjadi hujan yang sangat aku rindukan.
Mengeluh. . .
Ma'afkan aku kali ini tuhan. Terlalu sering aku mengeluh tentang rinduku. Terlalu sering aku berharap jauh melebihi batas kemampuanku. Terlalu sering aku mengeluh saat ini tuhan :(
Hanya rasa sabar yang aku punya saat ini, sungguh !
Dibalik analogi, dibalik batas perumpamaan yang tergores dalam sajak aku tak pernah mampu mengatakan bahwa aku merindunya saat ini.
Aku takut jika nantinya yang kini telah tertata rapi ku tinggal lagi untuk sementara waktu. Aku takut.
Aku seperti seorang yang larut dalam muram durja ketika mendung memberi harap untuk segera menurunkan hujan. Yaa aku menunggunya hingga setiap detak jantung setiap detak jam pun ikut berotasi secepat mungkin (rasanya). Bahagia ??? iyaa,, itu yang aku rasakan saat perlahan aku yang merindukan hujan menatap mendung di langit yang perlahan hitam membawa awan berarak. Terus berdo'a pada tuhan agar kali ini mendung itu benar-benar memecah kawanan itu menjadi rintik-rintik air hujan. Dengan secara tak sadar aku adalah wanita yang sangat mencintai gerimis hujan. Tak pernah terbersit sebuah kebodohan bahwa setiap mendung bukanlah pertanda pasti hujan selebat mungkin akan segera turun. Bodohnya aku kala itu.
Terdiam, lama aku menunggui mendung dalam diamku. Analogi yang setengah mati aku pikirkan agar kelak setiap kata memiliki makna tersirat. Tuhan berkehendak lain. Seketika senyumku berubah menjadi guratan kesedihan, menjadi sebuah kekecewaan yang tak bisa aku lukiskan. Aku memang terlalu sering menunggui mendung yang tak kunjung menjadi gerimis airhujan namun fase klimaks itu aku miliki. Entahlah, perlahan butiran bening itu mengalir di pipiku membasahi setiap sudut ruang mataku. Aku tak menyadarinya tuhan, betapa sedihnya betapa sakitnya menunggu mendung yang tak mendapat restu mentari untuk memecah hujan. Aku tak tahu tentang apa itu sabar sementara ini tuhan, sungguh. Yang aku tahu adalah saat ini aku hanya ingin menangis saat ini aku hanya ingin ada dipelukMu dan aku hanya ingin Engkau mengubah mendungMu menjadi hujan yang sangat aku rindukan.
Mengeluh. . .
Ma'afkan aku kali ini tuhan. Terlalu sering aku mengeluh tentang rinduku. Terlalu sering aku berharap jauh melebihi batas kemampuanku. Terlalu sering aku mengeluh saat ini tuhan :(
Hanya rasa sabar yang aku punya saat ini, sungguh !
Dibalik analogi, dibalik batas perumpamaan yang tergores dalam sajak aku tak pernah mampu mengatakan bahwa aku merindunya saat ini.
Aku takut jika nantinya yang kini telah tertata rapi ku tinggal lagi untuk sementara waktu. Aku takut.
Comments
Post a Comment