Move !
Gue ingat banget, wali kelas gue
(waktu itu gue kelas 2 SD) adalah Buk Sutilah. Ibuknya ramah, baik bahkan
bersahabat banget. Pertama gue menginjakkan kaki ke kelas itu gue gag nemuin
suatu yang beda karena mereka pun tahu gue pernah ada diantaranya waktu TK
dulu. Satu kelas isinya rame banget dan gue masih ingat waktu itu gue duduk di
tengah. Pas mata pelajaran matematika gue benar-benar gag ngerti plus bingung
waktu di kampong papa bisa jadi gue juara kelas ehhh tapi pas disini gue jadi
orang paling bodoh sedunia rasanya dan tiba-tiba ada cowok yang baik banget mw
nolong gue namanya Arif. Berkat bantuan dia gue dapat nilai 10 juga waktu itu.
Gue kemudian sebangku sama Wiwit (sobat banget) terus sama Dodi juga. Entah
karena gue awalnya sebangku sama mereka, gue ngerasa mereka itu lah sahabat
gue. Hhaha. . . gue tinggal di Asam 3
dengan teman-teman yang banyak. Gue ingat semuanya, gue ingat semua teman-teman
selama 4 tahun papa kerja di Asam 3. Musholla tempat ngaji, sungai asam tempat
belajar berenang, simpang empat tempat ngumpul kalo hari minggu. Semua terjadi
dengan sempurna mengisi masa kecil bahkan sangat sempurna. Jam 6 itu kami udah nungguin bus sekolah di simpang empat,
dan kalo hari hujan maka sudah kebiasaan kami pergi sekolah jalan kaki karena
sudah dapat dipastikan bus sekolah gag bisa jemput karena jalan jelek plus
licin. Hujan deras diiringi petir kami tempuh bersama. Melewati hutan
diseberang kompleks dan melewati jembatan sungai mangun hingga sampai
disekolah. Tak jarang kami basah kuyup namun semua gag pernah bikin kami
nyerah. Seragam basah, sepatu basah, tas pun ikut basah. Semangat, kebersamaan, dan persahabatan, serta
hangatnya rasa kekeluargaan membuat semuanya terasa indah, semua terlewati
secara sempurna. Biasanya kami adalah penghuni awal sekolah, dimana penjaga
sekolah pun belum sempat untuk membuka kelas sementara kami sudah menghuni
kesepian sekolah itu. Kami slalu bawa bakal terlebih gue meskipun kadang gue
liat sambal yang ada Cuma jengkol itu adalah hal biasa. Gue bawa bekal
pokoknya. Tempat makan langganan kami adalah meja tenis yang terletak disamping
kantor guru diantara gang menuju kelas 1. Itu adalah tempat langganan untuk
ngeribut pagi-pagi seraya mengganggu penjaga sekolah yang masih saja
dirumahnya. Yaaa kami anak blok yang memiliki keinginan keras untuk sekolah
yang tak kalah dengan anak perumahan waktu itu. Anak blok yang mati-matian
beerjuang untuk datang kesekolah. Untuk tetap mengisi hari dengan nilai yang
harus memuaskan. Dengan prestasi yang tak pernah mengecewakan, dengan juara
kelas yang sllau mencetak rekor. Yaa kami telah berjanji untuk bisa juara kelas
setidaknya kami menyadari susahnya kerja orangtua. Meski gue tahu orangtua gue
gag kerja panen tapi gue tetap salut sama mereka. Kerja keras mereka merangkul
anggota panen buat kerja biar target rata-rata perbulan dicapai adalah sebuah
acungan jempol buet gue. Semangat gue terlahir dari Papa yang bersahabat dan
pekerja keras. Dari mama yang slalu teliti dan pantang menyerah. Andai ada kesempatan dari tuhan untuk kami
berkumpul utuh saat ini. Berkumpul lagi untuk memperbincangkan masa-masa
kejayaan yang tak pernah bisa terganti lagi, sebuah kisah klasik yang tak lagi
gue dapati meskipun ada SMP, SMA dan Kuliah yang gue tempuh. Kalian gag pernah
mati buat gue, semua tentang kalian adalah utama dalam memori gue. Kalian
orang-orang hebat buat gue. Setiap pulang sekolah qlo udah gag ada bus sekolah
kita langsung ke pabrik, nebengin setiap mobil blok yang searah dengan basecamp
kita. Semua dengan perjuangan yang tak gampang memang. kadang pulang sekolah
jam 2 pun tak jarang bis sekolah tak ada. Alhasil kami pun harus pulang jalan
kaki lagi. Begitu seterusnya hingga saat penerimaan rapor semester 1 kelas 6
papa dapat surat mutasi ke 07. Gag bakal ada lagi main sepeda bareng yang
pernah ngebuat gue jatuh disimpang empat sampe ninggalin jejak di kepala sampe
sekarang. Mandi ke sungai bareng. Cari jamur bareng meski jauh banget ke petak
yang entah dimana tapi semua terlewati karena kami slalu bersama. Sahabat tak
kenal usia bahkan untuk mereka yang bersedia bergabung dengan kami adalah sahabat.
Uraian airmata saat teman sepermainan harus ikut orangtuanya pindah kerja, tawa
saat siap lebaran kita kumpul lagi, dan kesedihan yang tak bisa terlukiskan dan
berharap menjadi yang terakhir saat ada yang keluar dari yayasan dan gag pernah
datang lagi. Meskipun waktu itu bahagia banget karena juara 1 namun pupus
karena gue harus pindah dan meninggalkan teman-teman sepermainan gue 4 tahun
terakhir meskipun disekolah bakal ketemu lagi. Hal pertama yang gue lakuin
waktu baca surat itu adalah lari ke kamar. Menangis sekencang-kencangnya
berharap surat mutasi yang diterima papa adalah salah. Kemana lagi gue harus
cari teman-teman sebaik mereka disini, dimana harus gue tinggalkan jejak indah
bersama itu ??? bagaimana caranya gue harus bilang sama mereka gue harus pergi.
Mereka adalah pucuk semangat gue ada ditempat itu. Namun hadirnya sebuah takdir
tuhan gue sadari tak akan pernah bisa gue hindari. Tuhan udah punya rencana
besar untuk gue dan mereka semua. Mereka tetap ada dalam sanubari gue. Hari itu
juga gue pindah dan gue benar-benar ternganga ngeliat keadaan yang baru itu.
Tempatnya sepi, bahkan terkesan gag ada orang sama sekali. Tapi gue harus bisa
demi orangtua. Awal datang kerumah baru lagi-lagi gue nangis. Kangen. Ya gue
kangen sama mereka di Asam 3. Disana gue
juga nemuin teman-teman baru gue dan tuhan memberikan buah kesabaran gue
tinggal disana dengan orang-orang yang bersahabat banget sama gue. Gue juga
sempat tinggal di asam 1, tempat dimana gue pernah ada selama beberapa tahun.
Gue terkesan sama sepasang suami istri (pakde sama bukde) yang mau ngasuh gue
kalo mama sama papa udah berangkat kerja. Seorang Nella yang kecil gag pernah
ngeluh waktu diajak pakde sama bukde pergi kerja ke lokasi. Yang pernah nangis
waktu diajarin makan cabe. Yaa karena didikan mereka lah gue bisa makan cabe,
gue tahu susahnya cari duit. Hingga kemudian, 18 tahun setelah masa itu. Saat
nemanin mama belanja ke pasar, berpapasan dengan seorang wanita tua yang
tertegun menatapku. Dengan mata berkaca-kaca beliau memegang tanganku. Yaa dia
adalah bukde yang terlalu hafal siapa gue dulu. Mama langsung bersalaman
dengannya sementara gue masih mencoba membongkar memori-memoriku tentang siapa
yang berdiri didepanku ini. Setelah mendengar ceritanya airmata gue terjun
bebas, gue seperti menengadahkan mata kepada langit yang merenggut waktu
terlalu cepat saat janji belum terlaksana sama sekali. Pakde telah pergi ke
tempat yang entah kapan gue jumpai. Yaa pakde pergi selama-lamanya. Gue sempat
heran sama perasaan gue sendiri, gue seperti kehilangan sosok kakek yang sangat
gue sayang. Terlebih selama ini, setelah 18 tahun usia gue gue belum pernah
menemuinya sekalipun. Dan kini kabar itu benar-benar membuat hati sakit. Asam
1, semua memori masa kecil tersimpan dan abadi disana. Sahabat-sahabat yang
telah berlalu tak lagi gue temui. Mereka telah kembali pada negeri
masing-masing. Simpang tiga memorable ada disana. 3 tahun di 07 papa di mutasi
lagi ke Divisi II dimana kali ini benar-benar membuat gue terpukul. Gue
sekeluarga pindah keluar dari Divisi V yang artinya telah menutup kemungkinan
buat ketemu lagi sama teman-teman sepermainan gue. Kehangatan yang mulai
tercipta dengan rumah yang baru harus ditinggal lagi. Itulah hidup !
Comments
Post a Comment